jump to navigation

Media Sosial, Politik & Risiko Bisnis Agustus 30, 2018

Posted by Dadi Krismatono in Komunikasi, Media, Politik, PR.
add a comment
Image result for social media hoax

Sejak pemilihan gubernur DKI Jakarta 2012, pemilihan umum 2014 dan kini mendekati pemilu 2019, rasanya media sosial kita tak kunjung mendingin. Berbagai perdebatan terus mewarnai lini masa. Bahkan, tak sedikit polemik di media sosial berujung di dunia nyata, seperti pelaporan ke aparat hukum, persekusi, hingga perkelahian. Belum lagi mereka yang memutus pertemanan (unfriend) atau keluar dari grup percakapan seperti WhatsApp. Media sosial menjadi tempat pertarungan politik yang sengit.

Perilaku dan ekspresi di media sosial sejatinya sama dengan perilaku di dunia nyata. Ada etika, kesepakatan hingga peraturan yang harus ditaati. Namun, media sosial menyediakan ruang gelap anonimitas yang dimanfaatkan sebagai saluran fitnah dan desas-desus. Belum lagi desakan untuk menjadi yang tercepat menyampaikan sesuatu. Bukan hanya tercepat, kalau perlu mengabarkannya secara real time tanpa verifikasi yang memadai. Inilah sumber berita tidak akurat dan hoaks. Berapa banyak seorang tokoh dikabarkan meninggal dunia di media sosial, padahal yang bersangkutan masih sehat wal afiat?

Kerugian akibat posting tidak akurat dapat menimpa perusahaan. Sebuah merek roti diboikot karena dinilai tidak mendukung demonstrasi 2 Desember 2016. Padahal, perusahaan roti itu hanya mengklarifikasi informasi yang beredar bahwa pihaknya mendukung aksi itu dengan cara membagikan roti gratis. Sebagai perusahaan publik (TBK), perusahaan tentu perlu menjelaskan posisinya karena banyaknya pemangku kepentingan, termasuk investor internasional. Jika dibaca dengan cermat, klarifikasi itu sangat jelas: roti yang dibagikan itu dibeli seseorang atau beberapa orang dalam jumlah banyak, bukan berasal dari sumbangan perusahaan. Sebagian warganet yang emosional, ditambah suasana politik yang memanas, menyerukan boikot yang memukul para pedagang kecil yang berjualan roti itu.

Kewargaan Digital

Salah satu istilah yang mencuat pada 2017 adalah warganet, untuk menggantikan netizen, internet citizen. Internet diibaratkan sebuah “negara” yang memiliki “warga negara”. Tak jarang kita membaca berita dengan judul seperti “Netizen Tuding MK Izinkan Zina dan LGBT”. Netizen menjadi subyek yang bertindak.

Satu langkah lebih maju dari menjadi warganet adalah menumbuhkan sikap kewargaan digital (digital citizenship).Warganet adalah mereka yang menggunakan internet secara reguler dan efektif setiap hari. Keaktifan berinternet atau bermedia sosial itu harus diikuti dengan kemampuan berpartisipasi secara positif di masyarakat. Petisi dan penggalangan dana sosial daring merupakan contah nyata dari sekap tersebut.

Lebih luas lagi, kewargaan digital mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dibutuhkan untuk menunjukkan perilaku bertanggung jawab, menghormati, dan aman ketika menggunakan teknologi atau berpartisipasi dalam suatu lingkungan digital (Karen Mossberger, Digital Citizenship: The Internet, Society and ParticipationMIT Press, 2008). Karena itu, setiap warganet diharapkan dapat berperilaku etis dan bertanggung jawab di ranah digital sebagaimana dituntut di dunia nyata.

Dalam lingkup mikro, perusahaan atau organisasi dapat berperan dalam membangun sikap dan perilaku kewargaan digital. Usaha ini juga dapat bermanfaat mengamankan kepentingan dan reputasi perusahaan. Kita ingat cerita tentang seorang pegawai BUMN yang akhirnya didamaikan dengan seorang kyai ternama akibat postingannya yang bernada kebencian. Bayangkan, berapa waktu dan tenaga tersita, begitu juga meningkatnya risiko reputasi perseoran akibat insiden tersebut.

Kasus yang hampir sama kita lihat pada jurnalis yang dipecat karena berkicau tentang seorang pendakwah Indonesia yang ditolak masuk ke suatu negara. Cuitan itu mengundang reaksi keras hingga memunculkan tagar ajakan boikot terhadap media tempatnya bekerja. Media tempatnya bekerja merespons dengan memutuskan hubungan kerja dan menegaskan bahwa kicauan jurnalis itu adalah pendapat pribadi.

Dari kasus di atas kita melihat pentingnya perusahaan atau organisasi memiliki ukuran dan pedoman yang jelas dalam memagari perilaku digital pegawainya. Pedoman ini mengingatkan bahwa setiap pegawai, walaupun padanya melekat hak sebagai individu, adalah duta dan wajah publik perusahaan. Apa pun pernyataan pegawai di media sosial dapat berdampak pada perusahaan dan harus dipertanggungjawabkan. Di lingkungan media kita bisa lihat hampir semua jurnalis dan kolumnis media internasional mencantumkan media tempat bekerja dalam akun media sosialnya.

Tak hanya menyusun, perusahaan perlu melakukan internalisasi pedoman ini, bersama code of conduct yang umum, di dalam skema pengembangan manusia secara berjenjang sesuai karier pegawai. Perilaku digital juga perlu dimasukkan ke dalam penilaian kinerja dan kepatuhan.

Dengan pedoman tersebut, kasus serupa pegawai BUMN dan wartawan di atas dapat diantisipasi lebih baik oleh perusahaan. Perusahaan pun dapat mengambil tindakan tegas tanpa risiko serangan balik secara hukum karena pedoman perilaku digital sudah diketahui oleh pegawai. Sebaliknya, pegawai merasa jelas apa yang boleh dan tidak boleh diekspresikan di media sosial berikut konsekuensinya.

Di tingkat makro, kita membutuhkan usaha bersama mendidik masyarakat berperilaku etis dan bertanggung jawab di lingkungan digital. Ruang kebebasan di media sosial bukanlah tempat menyebar fitnah, hoaks, dan ujaran kebencian. **

Dimuat di Jawa Pos, 25 Agustus 2018. 

Komunikasi Politik Trump Desember 22, 2017

Posted by Dadi Krismatono in Komunikasi, Politik.
Tags: , ,
add a comment

US-DIPLOMACY-ISRAEL-PALESTINIANS-CONFLICT

Bak petir di siang bolong, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan pemerintahannya mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Pengakuan itu disusul rencana pemindahan kedutaan besar AS di negara itu.

Kontan pernyataan itu menyulut reaksi di berbagai belahan dunia. Namun, jika kita telusuri lebih dalam, pengakuan itu hanya soal waktu. Kebetulan Trump yang mengumumkan, seolah menggenapkan sekian banyak kontroversi selama ini.

Mengapa hanya soal waktu? Sejak 1995 Kongres AS telah meloloskan Jerusalem Embassy Act, sebuah undang-undang untuk menginisiasi dan mendanai pemindahan Kedubes AS di Israel dari Tel Aviv ke Jerusalem. Dalam UU tersebut, Kongres AS dengan jelas menyatakan bahwa Jerusalem adalah ibu kota negara Israel sejak 1960 dan menjadi tempat kedudukan presiden, parlemen, mahkamah agung, dan lembaga-lembaga penting lainnya.

Disebutkan juga, pada 1996 Israel merayakan 3.000 tahun hadirnya Yahudi di Jerusalem sejak kedatangan Nabi Daud (tertulis: King David).

Presiden AS sebelum Trump—Bill Clinton, George W. Bush, dan Barrack Obama—memilih melakukan pengabaian (waiver) setiap enam bulan sesuai mekanisme. Trump sendiri menandatangani pengabaian pada Juni tahun ini sebelum membuat pengumuman awal Desember.

Tiga Hipotesis

Dalam perspektif komunikasi politik, klaim Trump dibaca dalam tiga hipotesis. Pertama, Trump sedang menguji siapa sekutu sejati Amerika saat ini. Inggris bersikap medua. Walaupun Perdana Menteri Inggris Theresa May adalah pemimpin pertama yang mengunjungi Trump di Gedung Putih, namun balasannya tidak setimpal ketika Trump berkunjung ke London. Majelis Rendah (House of Commons) menolak Trump bicara di majelis tersebut.

Sikap Jerman yang makin berani kepada AS seiring menguatnya posisi Jerman di Eropa membuat Trump gusar. Kanselir Angela Merkel tidak segan-segan mengritik proteksionisme Trump dan mengatakan sudah waktunya Barat tidak bergantung pada kepemimpinan Amerika.

Konstelasi juga bergeser karena Trump semakin dekat dengan Rusia. Bahkan, sejumlah pihak menduga Trump menang pemilu dengan “bantuan” Moskwa. Namun, kedekatan Trump dengan Vladimir Putin masih menyisakan tanda tanya bagi perdamaian Timur Tengah. AS berbeda posisi dengan Rusia dan sekutunya (terutama Iran) terhadap kepemimpinan Presiden Bashar al Assad di Suriah. Serangan AS ke Suriah pada awal April memantik kritik dan pembelaan yang keras dari kedua pihak.

Dengan pernyataan yang kontroversial ini, Trump ingin melihat siapa teman sejatinya. Namun, kita sudah melihat bahwa Inggris, Jerman, Perancis menolak klaim Trump, begitu pun Perserikatan Bangsa Bangsa dan Uni Eropa. Di kawasan Arab; Lebanon, Qatar, Mesir, Jordania menyampaikan keberatan yang sama, juga Turki dan Iran.

Hipotesis kedua, Trump sedang mengingatkan Israel dan dunia bahwa Paman Sam masihlah kekuatan terbesar di dunia. Langkah ini mirip bermain bola biliar karena yang disodok sebenarnya adalah menguatnya China dan makin mesranya Negeri Paman Mao itu dengan Israel dan Palestina sekaligus.

China yang menjulang sebagai kekuatan ekonomi dan politik baru mulai berkomentar tentang kondisi politik dunia, tak terkecuali Timur Tengah. Dalam isu Jerusalem, Bejing tegas mendukung negara Palestina merdeka dengan Jerusalem Timur sebagai ibu kotanya dan mendesak semua pihak menyikapi langkah Trump dengan hati-hati.

Kemesraan itu terlihat dari data ekonomi. Ekspor Israel ke China terus meningkat hingga USD 3,3 miliar pada 2016, didominasi ekspor teknologi untuk pertanian. Tak bertepuk sebelah tangan, investasi China di Israel juga menderas.

Pada tahun yang sama, penanaman modal langsung (FDI) China di Israel mencapai USD 16,5 miliar, khususnya ke bisnis startup, keamanan siber, dan alat kesehatan (Thomson Reuters). Negeri Panda itu juga berinvestasi dalam pembangunan transportasi metro Tel Aviv dan pelabuhan supermodern Haifa di Laut Mediterania.

Simbol kemesraan itu akan menguat jika rencana penawaran saham perdana (IPO) sebuah perusahaan teknologi Israel di bursa saham China terealisasi dalam waktu dekat—bukan di NYSE atau NASDAQ.

Pada saat yang sama, China “bermain mata” dengan Palestina. Dalam pertemuan dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas pada bulan Juli, Presiden Xi Jinping tidak hanya menegaskan dukungan terhadap solusi dua negara, melainkan juga menawarkan dukungan finansial, termasuk pembangunan kawasan industri dan pembangkit listrik tenaga surya.

Kemesraan ini sangat mengusik Trump yang sudah sejak kampanye membuat pernyataan kasar terhadap China.

Terakhir, langkah Trump bisa dibaca sebagai manuver memperkuat posisinya di dalam negeri. Pengakuan Jerusalem adalah janji kampanye Trump dan ia memenuhinya. Ini penting untuk mengonsolidasi kembali basis konstituen dan barisan Partai Republik. Dengan langkah ini pula Trump sedang mendiferensiasi dirinya dengan pendahulunya, terutama Obama.

Trump berniat menggusur warisan Obama, khususnya Obamacare, dan ini adalah langkah pertama bagi serangkaian proses “de-Obama-isasi”.

Tentu tidak ada faktor tunggal dalam peristiwa politik. Selalu ada kepentingan dan perhitungan yang berkelindan. Ketiga hipotesis di atas adalah bacaan situasi makro atas langkah Trump.

Sikap Indonesia

Pernyataan tegas Presiden Joko Widodo terhadap langkah gegabah Amerika patut diapresiasi. Terutama, karena pernyataan itu mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan antipenjajahan seperti tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.

Indonesia harus memenuhi salah satu janji konstitusinya, yaitu ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

— Dimuat di Kompas, 21 Desember 2017. Foto: Time.com.