jump to navigation

Bacaan Wajib (Calon) Gubernur Jakarta Mei 21, 2012

Posted by Dadi Krismatono in Buku.
Tags: , , ,
2 comments

Triumph of the City: How Our Greatest Invention Makes Us Richer, Smarter, Greener, Healthier and Happier

Penulis: Edward Glaeser

Penerbit: MacMillan, London, 2011

Halaman: 338 (termasuk indeks)

Pemilihan gubernur DKI Jakarta telah di depan mata namun belum ada satu pun pemaparan gagasan bernas dan komprehensif mengenai arah pembangunan kota Jakarta, atau bagaimana mengatasi masalah-masalah yang dihadapi oleh Jakarta, seperti kemacetan, banjir dan kriminalitas. Yang ramai di media hanyalah masalah politik, tentang siapa berpasangan dengan siapa, dan partai mana mendukung calon mana.

Jakarta kini tengah menghadapi masalah kronis. Jakarta tengah menggelembung menjadi supermetropolitan dengan penghuni sekitar 30 juta orang tanpa rencana. Orang-orang terus berdatangan ke Jakarta, sebagian karena mereka memang bakat-bakat terbaik di berbagai bidang pekerjaan, sebagian lagi karena terdesak kemiskinan dan minimnya kesempatan di daerah asalnya. Kemiskinan, kejahatan dan kecelakaan menjadi berita yang tak lagi mengejutkan. Benarkah pepatah lama bahwa sekejam-kejam ibu tiri, jauh lebih kejam ibu kota?

Simbol Harapan
Mengapa Sumpah Pemuda dan proklamasi kemerdekaan terjadi di kota Batavia? Penjelasan sederhananya adalah karena ada universitas di kota itu. Di universitas itulah para cendekiawan awal Indonesia berinteraksi, dalam pergaulan sehari-hari, maupun lewat persentuhan dengan ilmu pengetahuan, filsafat dan pemikiran tokoh-tokoh dunia, hingga melahirkan tindakan revlusioner yang digerakan oleh harapan. Itulah sejatinya kota: simbol harapan. Orang datang ke kota untuk mengejar harapan akan penghidupan yang lebih baik, yang dapat dikejar melalui pendidikan yang tinggi maupun pekerjaan yang menghasilkan uang.

Sejarah menulis bahwa kota adalah salah satu capaian peradaban. Selain sebagai pusat politik, yang kemudian menggerakan ekonomi, kota menjadi sumber harapan karena di situlah tempat kebudayaan dan intelijensia suatu masyarakat berkembang. Urbanisasi adalah keniscayaan dimana pun. Kota menjadi tempat hidup yang padat pada ruang yang semakin mahal. Itulah esensi kehidupan suatu kota. Dengan kepadatan, keragaman dan dinamika interaksinya, kota telah menjadi mesin inovasi dunia, sejak Athena merumahi Plato dan Sokrates, Florence menjadi tempat lahirnya Renaisans, hingga Birmingham yang memberi Revolusi Industri kepada dunia.

Itulah tesis Edward Glaeser, profesor ekonomi dari Harvard yang dengan yakin dan tekun mencatat dan menjelaskan betapa kota adalah kemenangan peradaban manusia. Kota menjadi tempat orang sangat kaya dan sangat miskin hidup di tempat yang sama. Bagi Glaeser, bukan kota disesaki orang miskin, tapi harapan untuk merubah hiduplah yang mengundang orang untuk datang ke kota dengan risiko masing-masing; sebagian menang, sebagian lagi kalah.

Sejarah juga mencatat jatuh bangunnya kota. New York yang pernah jaya sebagai kota niaga dan industri. Kemajuan teknologi transportasi memukul New York ketika industri manufaktur mulai mencari tempat berproduksi lain yang lebih murah. Namun kini New York bangkit menjadi pusat keuangan dunia dan bertemunya para jenius di bidang seni kontemporer, mode, dan periklanan. Sebaliknya, Detroit tak pernah bangkit dari kejatuhan sejak gulung tikarnya industri otomotif di kota itu. Industri yang pernah menjadi cahaya yang memikat laron-laron berdatangan itu kini redup, menyisakan kota yang tak bingar lagi.

Penggambaran yang menarik disajikan oleh Glaeser tentang berbagai kota di dunia. Selain kota-kota di AS, Glaeser juga menjelaskan berbagai pilihan kebijakan pemerintah yang berhasil maupun gagal, mulai dari Bangalore, Tokyo, Paris, hingga Dubai. Sayangnya, mungkin Glaeser belum pernah mampir di Jakarta sehingga dia tidak mengulas tentang kota ini.

Dubai 1990-2003 (Sumber: Internet)

Menurut Glaeser, inti pengelolaan kota adalah bagaimana menyerap orang-orang yang berdatangan ke dalam suatu sistem pemukiman dan transportasi publik yang efektif. Tempat tinggal vertikal dan transportasi massal adalah jawabannya. Solusi ini penting agar orang-orang yang datang ke kota tidak menyebar ke kawasan di sekeliling kota, membuat kota satelit yang sebenarnya tidak ramah lingkungan karena konsumsi BBM yang begitu besar.

Dengan kerangka itu, Glaeser mengritik pengelolaan beberapa kota di dunia. Misalnya, Paris. Atas nama pelestarian warisan budaya, kota itu mempertahankan gedung-gedung tua dan melarang pembangunan bangunan tinggi yang merusak ambiens kota. Kebijakan ini membuat jumlah ruang residensial sangat terbatas dan membuat harga properti melambung tinggi. Glaeser menegaskan bahwa dirinya bukan anti-pelestarian. Dia menekankan pilihan kebijakan yang tentu membawa risiko.

Contoh lain yang diangkat Glaeser adalah Bangalore. Kota yang tumbuh seiring meledaknya bisnis outsourcing dari Amerika dan Eropa ini menjadi kota yang mahal karena dibatasinya tinggi gedung. Akibatnya, muncul daerah sub-urban yang tidak terintegrasi dengan kota, dan—pada saat yang sama—tumbuh pula kantong-kantong kekumuhan di jantung kota. Glaeser sangat kukuh memegang kerangka teorinya dalam menganalisis fenomena-fenomena kota di dunia.

Kota Berorientasi Mobil
Salah satu bahasan Glaeser yang membuat buku ini cocok menjadi bacaan para calon gubernur Jakarta adalah fenoma abad ke-21 yang disebutnya “kota berorientasi mobil”. Glaeser mencatat bagaimana perubahan teknologi transportasi akan merubah wajah dan pilihan hidup warga kota. Ketika orang banyak berjalan kaki, seperti di Florence atau kota-kota kuno Eropa lainnya, jalan-jalan di kota itu biasanya sempit, berliku dan dipenuhi toko di kanan-kirinya. Kota yang berorientasi transportasi massal, seperti trem atau kereta api, di Chicago atau Manhattan, memiliki jalan yang lebih lebar yang tersusun dalam alur melintang dan membujur yang sangat rapi. Toko dan tempat komersial masih ada di sekitar jalan, namun tempat kegiatan lain sudah mulai naik ke gedung-gedung bertingkat. Sementara kota berorientasi mobil, di sini Glaeser mencontohkan Los Angeles dan Houston, jalannya besar dan melingkar dan mengabaikan tempat bagi pejalan kaki. Di kota-kota ini, pedestrian dan toko-toko pindah dari pinggir jalan ke mal. Kita bisa berkaca tentang Jakarta dari analisis ini.

Faktor kemakmuran juga memicu lahirnya kota berorientasi mobil. Orang-orang di kota yang telah makmur biasanya tergerak membeli properti di daerah sub-urban. Sebagian dengan alasan ingin menikmati kehidupan yang lebih “hijau”. Bagi Glaeser, tinggal di sub-urban yang dikelilingi taman dan pepohonan bukanlah pilihan hidup yang ramah lingkungan. Coba hitung, berapa jejak karbon yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor dari pinggir kota ke pusat kota setiap harinya?

Jakarta kini menegaskan diri sebagai kota berorientasi mobil. Atau tepatnya, kota berorientasi kendaraan pribadi, karena sepeda motor kini merajai jalan-jalan. Dibangunnya kawasan sabuk sub-urban, baik oleh pemerintah (Depok pada awal 1980-an lewat Perumnas) atau oleh swasta, seperti Serpong, atau Bintaro, berkelindan dengan absennya transportasi publik yang dapat diandalkan telah melahirkan generasi “tua di jalan.”

Satu sisi yang kurang dielaborasi oleh Glaeser adalah dampak dari kepadatan kota, mulai dari penyebaran penyakit, kriminalitas dan terorisme. Glaeser hanya mengulang-ulang referensi sejarah bahwa kota-kota di dunia berhasil mengatasi berbagai masalah tersebut.

Sangat menarik membaca buku ini sambil merenungi situasi Jakarta. Kebetulan Glaeser adalah seorang New Yorker. Cintanya pada kota yang tak pernah tidur itu membawanya mendalami studi perkotaan. Semoga (calon) gubernur Jakarta sempat membaca buku ini.