jump to navigation

Observasi Berita Koran Soal Copras-Capres Mei 28, 2014

Posted by Dadi Krismatono in PR.
Tags: , , , , , , , ,
add a comment

Baiklah, saya blogger yang buruk. Tidak disiplin menulis, walaupun setiap tahun baru atau ulang tahun, salah satu resolusinya selalu pingin disiplin nge-blog. Mungkin karena pekerjaan saya belakangan ini suntuk soal tulis-menulis, saya jadi malas menulis karena jenuh. Apalagi sekarang ada Twitter (nah, dapet deh kambing hitamnya).

Ngomong-ngomong soal Twitter, ada seorang yang katanya pujangga bin begawan di Indonesia dikritik karena sudah lama tidak menulis buku. Alasannya karena sibuk Twitter-an. Mungkin karena panas dikritik, tak berapa lama sang pujangga itu menerbitkan sebuah buku! Berisi … kumpulan kicauannya di Twitter! Haha..

Nah, belajar dari si pujangga tadi (BTW cerita saya itu saya dengar dari sumber yang tidak valid) saya menjahit kicauan saya di Twitter beberapa hari lalu menjadi satu tulisan di blog ini. Tentang pemberitaan tiga media cetak pada 20 Mei 2014 terhadap deklarasi capres yang dilaksanakan sehari sebelumnya.

Media yang saya amati hanya tiga: Kompas, Koran Tempo dan Media Indonesia, karena kebetulan di rumah langganan korannya cuma tiga itu. Jadi, kalau ditanya metode samplingnya, saya akan jawab purposive sampling”. Apa purpose-nya? Ya bujet buat langganan koran di rumah cuma segitu. Belum lagi soal sampah.

Kompas ngebet melakukan contrasting antara JokowiJK vs. PrabowoHatta. Dalam artikelnya ditulis bahwa yang satu bernuansa merakyat dan satunya megah bin mewah.

Media Indonesia cuma pasang satu foto headline: Jokowi-JK. Eh, emang yg kemarin deklarasi capres-cawapres cuma satu ya? Bahkan foto Prabowo-Hatta baru ada di hal. 4, pada 1/3 halaman bagian bawah. Di antara taburan foto Jokowi-JK. Jadi, ada 4 foto Jokowi-JK (termasuk HL) dan hanya 1 foto Prabowo-Hatta. Jika dihitung dari luas: 2 x 2/3 hal (termasuk hal. 1) vs. 1/3 halaman.

Koran Tempo dari segi foto berimbang. Terlalu subyektif untuk membahas komposisi atau angle foto. Tapi dua judul beritanya (hal. 1 & 7) tidak bisa tidak terasa “menggiring”. Yang saya maksud judul berita yang berdampingan dengan foto capres-cawapres. Ditambah berita “perpecahan” di Golkar dan PAN.

Ini observasi. Pandangan mata saja. Tidak pakai content analysis, apalagi framing. Iseng-iseng berhadiah di pagi yang cerah.

Kompas. Luas halaman relatif seimbang. Jumlah foto sama (5). Tapi ada “bonus” di artikel opini. Lanjutan “seri” Revolusi Mental. Eh, tapi kan artikel opini tidak harus mewakili aspirasi Redaksi. Betul. Tapi pernah inget ada artikel opini sejak pilkada DKI yang isinya ngritik Jokowi dimuat di Kompas? Juga soal timing. Artikel Revolusi Mental terbit 10 Mei, setelah PDIP oleh quick count “dinyatakan” menang pemilu. Hari ini? Apalagi—maaf—penulisnya bukanlah kolumnis reguler Kompas yang katanya gagah-gagah itu. Too good to be true kalo soal timing munculnya artikel ini tidak ada “sesuatu”. Redaktur opini Kompas dikenal ketat dan menerima bnyk artikel tiap hari

Apakah saya bisa membuktikan bahwa dimuatnya artikel lanjutan Revolusi Mental itu “sesuatu”? Tidak. Ini bukan forum hukum. Saya hanya observasi. Dasar dari observasi adalah common sense. Dia tidak membuktikan sesuatu, hanya melaporkan. Jadi inget kulian metode penelitian kualitatif.

Media Indonesia lebih jelas “ke mana”. Observasi saya hanya mengonfirmasi saja. 2/3 hal. 1 utk Jokowi-JK. Hanya satu paragraf utk Prabowo-Hatta. 2/3 hal. 1 itu karena 1/3 sisanya utk “Tajuk” atau “Editorial”. Jadi praktis hal. 1 Media Indonesia utk Jokowi-JK. Proporsi 2/3 – 1/3 juga dilanjutkan di hal. 4. Belum lagi judul. Tapi ada yang menarik. Dengan sotoynya saya sebut “Politik Lay-Out”. Apa itu?

Berita Prabowo-Hatta di hal. 4 “berdampingan” dengan berita tuntutan agar penculik/pelanggar HAM diadili di hal. 5. Coba dibuka “spread”. Ini seperti mencoba menembus alam bawah sadar pembaca.

BoClSs1CcAAG4oj

 

 

 

 

 

 

 

 

“Bonus” juga ada di artikel opini. Tapi, sekali lagi, secara normatif artikel opini bukan pendapat Redaksi, melainkan suatu tulisan ide atau isu yang dianggap penting. Penting bagi siapa? Bagi publik. Penting bagi publik menurut siapa? Menurut Redaksi. Jadi…

Koran Tempo bagaimana? Dari segi luas dan jumlah foto berimbang. Tapi perhatikan judul dan berita-berita bukan (langsung) tentang deklarasi capres-cawapres.Di hal. 1 judulnya “Jokowi-JK Diuntungkan”. Di hal. 7 judul “Suara Golkar Terbelah”. Ada di hal. 5 “Hampir 40 persen Pemilih Golkar Dukung Jokowi” yang mengutip publikasi hasil survei. Ditambah lagi berita tentang Wanda Hamidah yang “menyempal” dari keputusan PAN dan mendukung Jokowi. Belum lagi anak judul atau sub-judul.

Apakah ada berita tentang Prabowo-Hatta di Koran Tempo? Ada. Judulnya: “Nasib Hatta Rajasa Disampaikan Seusai Salat Jumat.” Salah? Tidak.

Ada lagi. Kenapa di banyak media Jokowi selalu disebut duluan? Di Koran Tempo disebut Jokowi-JK vs Prabowo-Hatta. Mengingatkan orang pada David vs Goliath. Kebaikan vs Kejahatan.

Ada faktanya: Jokowi deklarasikan duluan pasangannya, secara alfabetikal nama Jokowi hurufnya (J) lebih awal dari Prabowo. Permainan menggiring? Tidak bisa dibuktikan Begitu juga mengapa foto-foto Jokowi-JK ada di kiri (lebih dulu) dari Prabowo-Hatta (di kanan, kemudian). Tanya temen-temen EO deh. Mereka pasti bilang pasang logo sponsor di backdrop di kiri lebih mahal, karena terlibat duluan (kecenderungan mata kita membaca), jadi lebih nancep di otak.

Sekali lagi, itu hasil observasi, othak-athik gathuk, sedikit teori konspirasi dan sok-sokan bicara sub-conscius mind ala Freud. Jangan serius-serius.Ekonomi politik media sebenarnya sederhana. Sama seperti analisis ek-pol lainnya. Cari saja apa yg paling terbatas, langka dan karenanya berharga (scarce).

Pada media cetak, yang scarce adalah ruang di kertas. Karena nyetaknya ya sekian halaman. Belum lagi iklan. Ruang sangat berharga. Nggak gampang nambah jumlah halaman. Scarcity ruang di media cetak itulah yang dibongkar olah portal. Di dunia maya, ruang menjadi seperti tak terbatas.

Jadi, kembali ke soal ek-pol media, lihat saja bagaimana media cetak mengoptimalkan sumberdayanya yang langka berupa ruang itu. Kenapa yang ini, bukan yang itu? Kenapa foto ini bukan yang lain?

Lihat struktur berita: Judul, subjudul (kalau ada), lead paragraf (paragraf pertama, suka dicetak tebal atau dengan huruf lain), serta penutup. Lihat halaman 1. Berita utama. Foto headline. Itulah sumber daya paling “mahal” di media. Tidak semata nilai finansial. Tapi juga nilai “sikap”.

Lihat Tajuk Rencana atau Editorial. Ini “sikap resmi” media (redaksi) tersebut terhadap suatu isu. Kadang saya bertanya-tanya, nggak ada angin nggak ada hujan kok tajuknya membahas itu?

Oke deh. Segitu dulu ngopi sambil baca koran paginya. Semoga tidak bikin pusing. Tidak perlu terlalu menebak-nebak “konspirasi” apa di balik berita.Pakai saja common sense dan jadilah pembaca media yg cerdas. Anggap aja sparring partner intelektual di pagi hari.