jump to navigation

Baby OPEK Trip Februari 11, 2013

Posted by Dadi Krismatono in Kuliner, Perjalanan.
Tags: , , , , , , , , ,
trackback

Orang Pekalongan kerap menyebut dirinya OPEK (Orang Pekalongan). Mantan menteri koperasi dan tokoh LSM Adi Sasono adalah salah satu tokoh yang memopulerkan istilah ini. Nah, untuk mengantarkan bayi kami ke salah satu tanah asalnya, dan untuk mengintrodusir budaya OPEK, berangkatlah kami bertiga ke Pekalongan pada November lalu.

Karena Neru (waktu itu) baru berusia 9 bulan, kami membuat rute yang agak “melambung” untuk menghemat waktu. Jakarta – Semarang (via pesawat terbang) – Pekalongan (via darat/rental mobil), demikian juga sebaliknya. Alhamdulillah, pada 8 November 2012, baby Neru punya boarding pass-nya yang pertama.

Membaca dari berbagai sumber, salah satunya tulisan awal kolom Jalansutra Pak Bondan Winarno di KCM berjudul “Bayi Terbang”, kami mempersenjatai diri untuk memastikan penerbangan yang nyaman untuk Neru. Ear plug sudah terpasang, susu ASI di botol sudah siap. Eh, benar rupanya pendapat yang bilang bahwa Bandara Soekarno Hatta sudah waktunya dikembangkan. Karena terlalu lama mengantri runaway untuk lepas landas, susu sudah habis dan Neru kegerahan, jadilah seklumit drama Neru rewel. Untung tidak lama. Ketika pesawat sudah mencapai ketinggian tertentu dan pendingin udara dinyalakan normal, sang bayi tertidur pulas.

Sampai di Semarang kami dijemput oleh Toyota Rent A Car. Pelayanannya efektif. Reservasi lewat telepon yang jelas dan transparan. Ada petugas yang membawa kertas bertuliskan nama saya, kami menghampiri, bayar di counter mereka, dan sebuah mobil sesuai pesanan dalam kondisi mulus dan bersih tersedia.

Jalur darat Semarang – Pekalongan ternyata memberi blessing in disguise. Sejak awal, Nara—istri saya—sudah mengancam agar kami mampir ke Ayam Goreng Bu Bengat di daerah Gringsing, Batang. Kata Nara, ayam goreng inilah landmark kenangan masa kecilnya. Setiap acara plesiran keluarga, ayam goreng ini adalah itinerary tak terlewatkan.

Ayam Goreng Bu Bengat ada di jalan raya Gringsing (diucapkan Nggringsing oleh orang Jawa) di sebelah kiri jalan jika dari Semarang. Sudah ada sejak 1952. Ayam kampung yang digoreng dengan kayu bakar. Bumbu ungkepnya sederhana,  meresap baik dan diklaim tak menggunakan penyedap. Saya kira, panas “api tua” dari kayu bakarlah yang membuat kualitas gorengannya cantik dan singset.

Yang unik adalah sayur asemnya yang menggunakan daun seledri sehingga rasanya berbelok tidak seperti sayur asem biasanya. Nara menghitung-hitung, ternyata ia terakhir ke sini 18 tahun yang lalu dan menurutnya rasanya tidak berubah. Yang berubah bangunannya. Dulu rumah papan dengan latar belakang rumpun babmbu. Sekarang sudah jadi rumah permanen yang cukup untuk kira-kira 100 orang. Yang juga berubah, “saiki ono baliho sing keno nggo tarweh.”

Hehe… itulah OPEK. Penuh guyonan. Arti bahasa Indonesianya: sekarang ada baliho yang bisa dipakai tarawih berjamaah. Maksudnya, balihonya gede cetar membahana!

Menjelang sore kami sampai di Krapyak, Pekalongan. Arus lalu lintas sempat dialihkan di beberapa ruas sisa-sia perayaan ulang Ma’had Islam, lembaga pendidikan Islam yang sedang memperingati ulang tahunnya yang ke-70. Ma’had adalah lembaga pendidikan yang lebih tua dari negara Republik Indonesia. Dibentuk pada 8 November 1942 oleh Abdullah bin Hamid Al-Hinduan yang banyak membawa pembaruan dalam pendidikan Islam. Hingga kini, Ma’had Islam tetap menjadi salah satu center of excellence pendidikan di Pekalongan.

Malam pertama di Pekalongan kami lewatkan dengan menyantap gule kambing kacang ijo “Mak Yeh” di Krapyak. Unik, karena kuah gulenya tidak menggunakan santan. Gule balungan (potongan tulang), sumsum dan kacang ijo. Semula saya khawatir akan “eneg.” Gule, kok, pakai kacang ijo? Ternyata malah di situ rahasianya.

Gule Sumsum Kacang Ijo khas Krapyak, Pekalongan

Gule Sumsum Kacang Ijo khas Krapyak, Pekalongan

“Body” kuah gule Mak Yeh (nick name dari Mas Sholeh) didapat dari kacang ijo dan serundeng. Kekhawatiran “eneg” saya muncul karena selama ini saya hanya tahu kacang ijo dimakan sebagai burjo yang manis. Padahal, manisnya burjo disebabkan oleh santan dan gula jawa. Sejatinya, kacang ijo tidak manis, lebih ke arah gurih dengan nuansa “nutty” samar-samar. Hmm… boleh dong tambah sepiring lagi…

Krapyak adalah bagian pesisir Pekalongan. Jalan utamanya bernama Jl. Jlamprang yang juga nama satu motif batik khas Pekalongan yang dipengaruhi oleh pola geometris India.

Untuk makan siang kami menyambangi RM Puas di Jl. Surabaya. Rumah makan ini adalah pemata kuliner kampung Arab kota ini. Saya memesan nasi tomat dan sate kambing. Berbeda dengan nasi kebuli yang cenderung kering, nasi tomat masih menyimpan kepulenan beras. Dalam kuliner Arab-Indonesia, acar nanas memegang peranan penting. Acar nanas bukan sekedar menjadi kondimen, tapi determinan kelengkapan cita rasa.

Nasi Tomat, lebih pulen dari Nasi kebuli. Jangan lupa acar nanas.

Nasi Tomat, lebih pulen dari Nasi kebuli. Jangan lupa acar nanas.

 

 

 

 

 

 

Di depan RM Puas dengan suasana arsitektural Kampung Arab

Di depan RM Puas dengan suasana arsitektural Kampung Arab

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sambil mengunjungi kerabat, saya mampir di es dawet ketan di Podo, Kedungwuni. Kedungwuni adalah kecamatan di Pekalongan yang terkenal dengan batik peranakan Cina. Melihat suasananya yang hangat, rasanya warung dawet ini tidak kalah hitsnya dengan, misalnya, Portico di Jakarta. Inilah tempat “to see and to be seen.” Ada pegawai pulang kerja, keluarga, ABG, menikmati suasana sore sambil menyeruput dawet segar.

Ternyata di Pekalongan juga ada gudeg yang dijual pagi untuk sarapan. Yang saya datangi ada di daerah Pecinan. Saya menyebutnya gudeg “galau,” karena tidak tegas menentukan jati diri apakah dia gudeg atau nasi dengan sayur jipang. Memang begitu adanya. Gudeg Pekalongan cenderung gurih, tidak manis dan ambyur karena kuah sayur. Selain nangka, ada sayur jipang (labu siam) yang menemani.

Gudeg "galau" yang ambyur a la Pekalongan.

Gudeg “galau” yang ambyur a la Pekalongan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ikon kuliner Pekalongan adalah megono, cacahan nangka dengan parutan kelapa dan kecombrang. Megono ini jadi kondimen wajib. Dulu, waktu pertama saya mendengar nama “nasi megono” atau “sego megono,” saya mengira sama dengan nasi rames, nasi liwet atau sego gugeg. Ternyata, yang dimaksud adalah nasi dengan taburan megono, lalu ditambah dengan lauk-pauk lainnya.

Salah satu rumah makan legendaris di Pekalongan adalah Nasi Uwet H. Zarkasi di Jl. Sulawesi yang sudah berdiri sejak 1959. Kurang jelas apa yang dimaksud “uwet.” Ada yang menerjemahkan “uwet” sama dengan “diikat,” menjelaskan jerohan kambing yang diikat usus disemur yang menjadi andalan warung ini. Tapi pagi itu, ya pagi, saya mencoba otot dan limpa goreng. Kuah yang merembes di kepyuran megono bisa bikin merem-melek. Dibanding beberapa warung lain, di Zarkasi ini kecombrang pada megononya terasa lebih kuat.

Rejeki tak terduga juga saya dapatkan ketika berkunjung ke kerabat. Pulangnya kami melewati daerah Warung Asem yang sudah masuk Kabupaten Batang. Di tengah persawahan yang lengang, tiba-tiba ada rumah berwarna jambon yang ternyata adalah  RM Hj. Umi. Terus terang, awalnya saya underestimate terhadap tempat ini. Menunya hanya belut, ayam dan lele goreng, dengan lalapan dan sambal. Ternyata, inilah simple food at its best! Apakah suasana dan sepoi angin persawahan juga mempengaruhi?

Lumayan juga yang dilihat baby Neru dalam perjalanan mudik kali ini. Mudah-mudahan nanti dia jadi penggemar makan-makan dan jalan-jalan seperti orang tuanya.

Penjual gudeg pagi di Pekalongan.

Penjual gudeg pagi di Pekalongan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

* Foto oleh Trias Yunara.

 

 

Komentar»

No comments yet — be the first.

Tinggalkan komentar