jump to navigation

Baby OPEK Trip Februari 11, 2013

Posted by Dadi Krismatono in Kuliner, Perjalanan.
Tags: , , , , , , , , ,
add a comment

Orang Pekalongan kerap menyebut dirinya OPEK (Orang Pekalongan). Mantan menteri koperasi dan tokoh LSM Adi Sasono adalah salah satu tokoh yang memopulerkan istilah ini. Nah, untuk mengantarkan bayi kami ke salah satu tanah asalnya, dan untuk mengintrodusir budaya OPEK, berangkatlah kami bertiga ke Pekalongan pada November lalu.

Karena Neru (waktu itu) baru berusia 9 bulan, kami membuat rute yang agak “melambung” untuk menghemat waktu. Jakarta – Semarang (via pesawat terbang) – Pekalongan (via darat/rental mobil), demikian juga sebaliknya. Alhamdulillah, pada 8 November 2012, baby Neru punya boarding pass-nya yang pertama.

Membaca dari berbagai sumber, salah satunya tulisan awal kolom Jalansutra Pak Bondan Winarno di KCM berjudul “Bayi Terbang”, kami mempersenjatai diri untuk memastikan penerbangan yang nyaman untuk Neru. Ear plug sudah terpasang, susu ASI di botol sudah siap. Eh, benar rupanya pendapat yang bilang bahwa Bandara Soekarno Hatta sudah waktunya dikembangkan. Karena terlalu lama mengantri runaway untuk lepas landas, susu sudah habis dan Neru kegerahan, jadilah seklumit drama Neru rewel. Untung tidak lama. Ketika pesawat sudah mencapai ketinggian tertentu dan pendingin udara dinyalakan normal, sang bayi tertidur pulas.

Sampai di Semarang kami dijemput oleh Toyota Rent A Car. Pelayanannya efektif. Reservasi lewat telepon yang jelas dan transparan. Ada petugas yang membawa kertas bertuliskan nama saya, kami menghampiri, bayar di counter mereka, dan sebuah mobil sesuai pesanan dalam kondisi mulus dan bersih tersedia.

Jalur darat Semarang – Pekalongan ternyata memberi blessing in disguise. Sejak awal, Nara—istri saya—sudah mengancam agar kami mampir ke Ayam Goreng Bu Bengat di daerah Gringsing, Batang. Kata Nara, ayam goreng inilah landmark kenangan masa kecilnya. Setiap acara plesiran keluarga, ayam goreng ini adalah itinerary tak terlewatkan.

Ayam Goreng Bu Bengat ada di jalan raya Gringsing (diucapkan Nggringsing oleh orang Jawa) di sebelah kiri jalan jika dari Semarang. Sudah ada sejak 1952. Ayam kampung yang digoreng dengan kayu bakar. Bumbu ungkepnya sederhana,  meresap baik dan diklaim tak menggunakan penyedap. Saya kira, panas “api tua” dari kayu bakarlah yang membuat kualitas gorengannya cantik dan singset.

Yang unik adalah sayur asemnya yang menggunakan daun seledri sehingga rasanya berbelok tidak seperti sayur asem biasanya. Nara menghitung-hitung, ternyata ia terakhir ke sini 18 tahun yang lalu dan menurutnya rasanya tidak berubah. Yang berubah bangunannya. Dulu rumah papan dengan latar belakang rumpun babmbu. Sekarang sudah jadi rumah permanen yang cukup untuk kira-kira 100 orang. Yang juga berubah, “saiki ono baliho sing keno nggo tarweh.”

Hehe… itulah OPEK. Penuh guyonan. Arti bahasa Indonesianya: sekarang ada baliho yang bisa dipakai tarawih berjamaah. Maksudnya, balihonya gede cetar membahana!

Menjelang sore kami sampai di Krapyak, Pekalongan. Arus lalu lintas sempat dialihkan di beberapa ruas sisa-sia perayaan ulang Ma’had Islam, lembaga pendidikan Islam yang sedang memperingati ulang tahunnya yang ke-70. Ma’had adalah lembaga pendidikan yang lebih tua dari negara Republik Indonesia. Dibentuk pada 8 November 1942 oleh Abdullah bin Hamid Al-Hinduan yang banyak membawa pembaruan dalam pendidikan Islam. Hingga kini, Ma’had Islam tetap menjadi salah satu center of excellence pendidikan di Pekalongan.

Malam pertama di Pekalongan kami lewatkan dengan menyantap gule kambing kacang ijo “Mak Yeh” di Krapyak. Unik, karena kuah gulenya tidak menggunakan santan. Gule balungan (potongan tulang), sumsum dan kacang ijo. Semula saya khawatir akan “eneg.” Gule, kok, pakai kacang ijo? Ternyata malah di situ rahasianya.

Gule Sumsum Kacang Ijo khas Krapyak, Pekalongan

Gule Sumsum Kacang Ijo khas Krapyak, Pekalongan

“Body” kuah gule Mak Yeh (nick name dari Mas Sholeh) didapat dari kacang ijo dan serundeng. Kekhawatiran “eneg” saya muncul karena selama ini saya hanya tahu kacang ijo dimakan sebagai burjo yang manis. Padahal, manisnya burjo disebabkan oleh santan dan gula jawa. Sejatinya, kacang ijo tidak manis, lebih ke arah gurih dengan nuansa “nutty” samar-samar. Hmm… boleh dong tambah sepiring lagi…

Krapyak adalah bagian pesisir Pekalongan. Jalan utamanya bernama Jl. Jlamprang yang juga nama satu motif batik khas Pekalongan yang dipengaruhi oleh pola geometris India.

Untuk makan siang kami menyambangi RM Puas di Jl. Surabaya. Rumah makan ini adalah pemata kuliner kampung Arab kota ini. Saya memesan nasi tomat dan sate kambing. Berbeda dengan nasi kebuli yang cenderung kering, nasi tomat masih menyimpan kepulenan beras. Dalam kuliner Arab-Indonesia, acar nanas memegang peranan penting. Acar nanas bukan sekedar menjadi kondimen, tapi determinan kelengkapan cita rasa.

Nasi Tomat, lebih pulen dari Nasi kebuli. Jangan lupa acar nanas.

Nasi Tomat, lebih pulen dari Nasi kebuli. Jangan lupa acar nanas.

 

 

 

 

 

 

Di depan RM Puas dengan suasana arsitektural Kampung Arab

Di depan RM Puas dengan suasana arsitektural Kampung Arab

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sambil mengunjungi kerabat, saya mampir di es dawet ketan di Podo, Kedungwuni. Kedungwuni adalah kecamatan di Pekalongan yang terkenal dengan batik peranakan Cina. Melihat suasananya yang hangat, rasanya warung dawet ini tidak kalah hitsnya dengan, misalnya, Portico di Jakarta. Inilah tempat “to see and to be seen.” Ada pegawai pulang kerja, keluarga, ABG, menikmati suasana sore sambil menyeruput dawet segar.

Ternyata di Pekalongan juga ada gudeg yang dijual pagi untuk sarapan. Yang saya datangi ada di daerah Pecinan. Saya menyebutnya gudeg “galau,” karena tidak tegas menentukan jati diri apakah dia gudeg atau nasi dengan sayur jipang. Memang begitu adanya. Gudeg Pekalongan cenderung gurih, tidak manis dan ambyur karena kuah sayur. Selain nangka, ada sayur jipang (labu siam) yang menemani.

Gudeg "galau" yang ambyur a la Pekalongan.

Gudeg “galau” yang ambyur a la Pekalongan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ikon kuliner Pekalongan adalah megono, cacahan nangka dengan parutan kelapa dan kecombrang. Megono ini jadi kondimen wajib. Dulu, waktu pertama saya mendengar nama “nasi megono” atau “sego megono,” saya mengira sama dengan nasi rames, nasi liwet atau sego gugeg. Ternyata, yang dimaksud adalah nasi dengan taburan megono, lalu ditambah dengan lauk-pauk lainnya.

Salah satu rumah makan legendaris di Pekalongan adalah Nasi Uwet H. Zarkasi di Jl. Sulawesi yang sudah berdiri sejak 1959. Kurang jelas apa yang dimaksud “uwet.” Ada yang menerjemahkan “uwet” sama dengan “diikat,” menjelaskan jerohan kambing yang diikat usus disemur yang menjadi andalan warung ini. Tapi pagi itu, ya pagi, saya mencoba otot dan limpa goreng. Kuah yang merembes di kepyuran megono bisa bikin merem-melek. Dibanding beberapa warung lain, di Zarkasi ini kecombrang pada megononya terasa lebih kuat.

Rejeki tak terduga juga saya dapatkan ketika berkunjung ke kerabat. Pulangnya kami melewati daerah Warung Asem yang sudah masuk Kabupaten Batang. Di tengah persawahan yang lengang, tiba-tiba ada rumah berwarna jambon yang ternyata adalah  RM Hj. Umi. Terus terang, awalnya saya underestimate terhadap tempat ini. Menunya hanya belut, ayam dan lele goreng, dengan lalapan dan sambal. Ternyata, inilah simple food at its best! Apakah suasana dan sepoi angin persawahan juga mempengaruhi?

Lumayan juga yang dilihat baby Neru dalam perjalanan mudik kali ini. Mudah-mudahan nanti dia jadi penggemar makan-makan dan jalan-jalan seperti orang tuanya.

Penjual gudeg pagi di Pekalongan.

Penjual gudeg pagi di Pekalongan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

* Foto oleh Trias Yunara.

 

 

Crowne Plaza Semarang: It’s Not a Five Star Experience Desember 1, 2012

Posted by Dadi Krismatono in Perjalanan.
Tags: , , ,
add a comment

crowne-plaza-semarang_191120110858143518After making our reservation conveniently through Agoda on November 10 2012, we called the Crowne Plaza Semarang for non-smoking room and baby crib.

We arrived at the spacious and glossy lobby on November 11. We have the non-smoking floor which is excellent since we traveled with baby, but got no confirmation whether we got the baby crib or not. After some confusion, the receptionist said that we got the baby crib.

When we arrived, we found no baby crib. We have to call again and again for the baby crib. Seems it is the hotel policy that every guests’ request needs three-time repetition before getting any response.

The room is clean and spacious. The bathroom is clean. We’re happy about that.

The food was far below our expectation. We ordered noodle soup from room service and tried the buffet breakfast. All was lame.

The three-time repetition policy was applied again when we asked for the bill at check out, asking for trolley to pick up our luggage, and–even better–when we ask for taxi to take us to airport.

I don’t understand why a glossy business-looks hotel like this doesn’t have a private paid transport to airport. Guests only had choice of taxi from the adjacent mall or hotel’s free shuttle on their own schedule.

So, in general, it was not a five star experience, not a value for money, and we have no reason to come back.

HK – 23 03 2012 Maret 28, 2012

Posted by Dadi Krismatono in Perjalanan.
add a comment

https://i0.wp.com/a6.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash3/539276_10150889208468135_941540338_n.jpg

During my sister’s wedding.

My Trip to Abu Dhabi Maret 28, 2010

Posted by Dadi Krismatono in Perjalanan.
Tags:
2 comments

This is what you got when you traveled and were accompanied by a talented, beautiful photographer.
Lesson learned: I will take a modeling course prior to my next trip with her, so I can have more poses and style.
Thank you for the wonderful days in Abu Dhabi.


Contemplating the sunset at the desert. Simply speechless


Dust in the wind. All we are is dust in the wind.


Me at the desert.


Save the trees, save the planet.


Stunned by the sunset at the desert.


Syekh Dadi *please deh…*

To be continued…

Mendadak Sastra (5) – SELESAI November 10, 2008

Posted by Dadi Krismatono in Perjalanan.
1 comment so far

Workshop “Writing for Young Readers” jadi acara pertama  hari ini. Pembicaranya Jean Bennet dari NZ. Terus terang, waktu menerima program saya membayangkan workshop ini akan membahas seputar fenomena seperti Harry Potter, chick lit, atau early adolescence novel yang witty dan bersemangat. Ternyata maksudnya lain. Bennet adalah penulis buku edukasi anak-anak. Banyak bukunya yang diterbitkan oleh National Geographic, khususnya dalam bentuk buku ilmiah atau sejarah yang diberi tokoh dan kisah fiktif untuk menghidupkan dan membangkitan minat baca. Sebenarnya ini workshop yang cukup bagus, tapi bukan yang saya cari.

Selesai workshop di Taman Indrakila, saya bergeser ke Indus, karena ada diskusi menghadirkan Pak Bondan Winarno. Bersama Lucy Malouf dari Australia, Pak Bondan dan peserta membahas tentang “food and story”. Soal food and story, menarik sekali membahas betapa bahasa punya keterbatasan untuk mengekspresikan citarasa yang dihadirkan makanan. Apalagi kalau lintas bahasa. Bagaimana kita menerjemahkan al dente, flaky dan earthy? Selain itu ada pertanyaan yang menggelitik, apakah para pecinta makanan pernah berpikir tentang orang-orang yang kelaparan di dunia ini?

Sebelum workshop saya bertemu Emelia yang membawa titipan fruit wine dari buah naga buatan Mbak Catalia, JSer Bali yang memang fokus dalam produksi makanan organik dan vegetarian. Adanya larik rasa gula merah dalam minuman itu. Namun, dari segi cita rasa, masih perlu banyak langkah sehingga apa yang diinginkan keluar, bukan hanya membiarkan fermentasi bekerja. Good experiment, anyway.

Lalu makan siang di Casa Luna. Saya mencoba “Balinese paella” yang ternyata nasi kuning (ya, that nasi kuning hehehe… ) dengan potongan aneka seafood yang dimasak dengan bumbu asam segar khas paella. Ada dedaunan, kalau tidak salah dill, yang memperkaya aroma. Nasi yang lebih tanak membuat perut kampung saya ini lebih bisa menerimanya, tidak perlu pakai reserve seperti kalau mau makan paella beneran.

Sorenya kembali ke Casa Luna untuk mengikuti wine tasting. Judulnya seru: In Praise of Wine and Woman. Pembawa acaranya Yohan Handoyo, figur yang sangat tepat. Soal wine tentu Yohan jagonya. Soal woman? Aduh… mendingan nggak komentar deh daripada dijitak! Wine yang dihadirkan cukup beragam: Australia, Italia, Chile, Amerika bahkan Hungaria. Saya mencicipi “Italian Chardonnay” yang lumayan cakep. Sayang acaranya tidak bisa dibilang pairing, baik dari segi makanan maupun performance. Jadi, ya, jalan sendiri-sendiri. Winenya, makanannya dan puisinya. Sayang banget. Memang ada beberapa terobosan yang cukup unik seperti tempe goreng dengan sambal dan guacamole atau ayam yang di-gill kemudian dibumbui sambal matah. Bahkan Yohan sampai meminta lampu dimatikan dan peserta meminum Tabali Pinot Noir dari Chile (maaf, vintage-nya lupa) dengan mata terpejam sambil mendengarkan puisi untuk memaksimalkan suasana.

Selesai dari Casa Luna kami menuju ke Jl. Goutama, berharap Street Carnival masih ada. Sisa-sisa keriaan sih masih terasa di udara tapi pertunjukannya tinggal joged bumbung di jalan. Menyenangkan sekali menonton tari Bali di tempat “aslinya”, bukan di gedung pertunjukan atau hotel tapi di desa dengan warga yang turut menari. Memang gerakan dan interaksi dari penari perempuan dan para lelaki dari penonton yang turun ke lantai dansa bernuansa erotis. Namun, konteks tempat tari tersebut hidup membuatnya bersahaja, jenaka, dan gayut dengan lingkungannya; tidak perlu ditera dengan ukuran UU Pornografi yang dogmatis dan paranoid itu.

Hari Terakhir

Dengan menyesal saya tidak ikut penutupan di Museum Antonio Blanco malam nanti. Dengan mobil sewaan menyempatkan diri turun gunung sebelum pulang. Tujuan pertama: Mak Beng di Sanur, untuk late lunch. Warung ini hanya punya satu jenis menu = ikan goreng + sop ikan + nasi putih + sambal, dan bertahan sejak tahun 1941. Sayang sekali sop ikan kuning kental khasnya habis. Plan B-nya, mereka menyiapkan sayur sop sayuran biasa, dengan wortel, buncis dan seledri. Kami coba saja. Sambelnya masih konsisten, seperti terakhir tahun lalu saya ke sana.

Selesai makan  lihat-lihat di factory outlet baju-baju surfing, seperti Rip Curl dll. Ada beberapa tempat dan harganya lumayan value for money. Kalau mau mbongkar-mbongkar bak di bagian sale, lumayan tuh dapat kaos atau celana pendek keren dengan harga bersahabat.

Lewat Kuta, wah lagi ada Kuta Festival. Ramai dan sedikit macet. Sambil menikmati keramaian  terus menuju Seminyak dan mendarat di Ku De Ta. Karena ingin menyisakan ruang di perut untuk makan malam di Warung Italia di Jl. Kunti, saya memesan cemilan dari buah zaitun untuk menemani mojito dan jeng jeng jeng… datanglah sepiring besar buah zaitun dengan kue garing panjang-panjang seperti cheese stick. Nah lo. Buahnya kecil-kecil dan buanyak banget. Sampai matahari tenggelam dan langit gelap, dan bibir rada tebal terkena vinegar, itu zaitun belum habis tuh…

Ku De Ta sudah selesai renovasi dan makin hip. Ada lantai atas yang memberi view yang lebih luas. Di bagian depan ada toko yang menjual merchandise dan CD. Harganya premium.

Bergerak dari Ku De Ta ke Warung Italia. Jangan-jangan supir mobil rental itu membatin, ini tamu kok kerjanya makan melulu? Warung Italia juga sekarang sudah lebih luas. Melebar ke samping. Ada tungku pizza yang cukup atraktif. Spot utamanya tetap di display makanan a la warung dimana pengunjung tinggal memilih apa yang diinginkan, dipanaskan sebentar dan sampailah di meja. Saya mencoba crespelle (Italian crepes) yang enak. Isinya mungkin keju gorgonzola karena rasanya yang manis legit. Selain itu kami mencoba kaki octopus dengan cipratan sedikit pesto, lasagna dan ravioli bayam. Selesai makan, cap-cus ke bandara dan pulang ke Jakarta.

Jika tahun depan ikut lagi…

Mudah-mudahan ada keluangan waktu, saya bisa ikut lagi tahun depan. Saya akan:

– Menunggu informasi acara sampai semua tersampaikan dengan baik. Risikonya mungkin harus spend waktu lebih, kehabisan kursi di workshop atau beli ticket pesawat dalam waktu yang lebih pendek.

– Menimbang-nimbang lagi partisipasi sebagai Friends of Festival. Benefitnya biasa aja tuh..

– Pikir-pikir lagi jika mau ikut event (seperti upacara pembukaan). Workshop UWRF bagus-bagus, tapi event-event-nya kurang terkelola dengan baik.

– Menginap di hotel yang ada AC-nya. Walaupun valley breeze Ubud sungguh membuai, cuacanya kok panas dan pengap ya?

Salut buat tim kerja dan relawan Ubud Writers and Readers Festival 2008. Mudah-mudahan jumpa lagi tahun depan.

SELESAI

Mendadak Sastra (4) November 6, 2008

Posted by Dadi Krismatono in Perjalanan.
1 comment so far

Catatan dari Ubud Writers and Readers Festival 2008Hari ini akan diisi dengan workshop sehari penuh. Judulnya provokatif: “Exploring Your Personal Odyssey” yang dibawakan oleh Paul Sochaczewski (yes, I was struggling with the pronunciation too). Tempatnya di Ananda Cottage. Lagi-lagi soal detail. Karena minimnya penanda, jadilah kami melakukan odyssey ke bagian belakang Ananda melewati sawah, jembatan gantung, sungai. Ketika kami sampai, Paul mengucapkan syukur. Ternyata bukan kami saja yang kesasar.

Paul mulai dengan membacakan satu personal essay yang menarik. Tentang suatu hari PMS seorang perempuan urban di London. Witty dan humanis. Dalam workshop, Paul banyak menggunakan tulisan-tulisan yang sudah ada sebagai contoh. Paul menekankan aspek scenes dalam personal essay karena pembaca butuh merasa, atau memvisualkan suatu lokasi tempat cerita terjadi. Dialog juga penting, terutama karena dalam dialoglah karakter masing-masing tokoh dapat terbangun. Bagaimana tokoh (“aku”, dalam hal ini) bereaksi terhadap “yang lain” (the other). Selain itu, detail, deskripsi dan struktur juga menjadi aspek yang dielaborasi oleh kelas.Masing-masing peserta diminta menceritakan odyssey dan idea apa yang ingin ditulis. Pada awalnya saya kurang memahami pertanyaan ini sehingga saya tidak menjawab dengan baik. Peristiwa dalam hidup kita adalah sumber cerita, baik yang dramatis maupun yang kesannya remeh namun menyimpan sesuatu yang dalam di baliknya. Kematian, penyakit yang diderita oleh orang dekat, pengalaman mengadopsi anak, tersesat di hutan tanpa peralatan dan makanan, melihat ayah yang sekarat namun tetap terborgol karena sang ayah adalah narapidana, pengalaman hari pertama mengajar seorang guru atau bagaimana seorang Italia mencari pizza yang enak di Bali adalah cerita yang dibawa oleh para peserta.

Kemudian Paul memperkenalkan metode “Zen speed writing”. Intinya kita diminta membiarkan music masuk ke pikiran kita dan “membimbing” kita menulis. Paul mengucapkan satu kalimat pemancing lalu menyetel musik. Klasik, oriental, mellow. Saya mengalami betapa jenis musik yang digunakan mempengaruhi hasil tulisan. Saya suka sekali musik spa bercorak India yang disetel. Yang lucu, bahkan ada saat dimana seolah-olah kita bisa menulis tanpa henti. Begitu saja mengalir degngan intens. Seperti avalanche. Paul dan kelas juga mengelaborasi betapa tulisan yang baik seperti memiliki musik di dalamnya. Ada elegance, progresi, phasing dan variasi panjang pendeknya kalimat.

Workshop diselingi makan siang. Di HSBC lounge di sebelah Indus ada kantin dadakan di sana. Saya mencoba vegetarian burger dengan isi terung dan keju feta. Mmm… sebenarnya sih bisa lebih enak, apalagi kalau segar. Kayaknya udah kelamaan didisplay, jadi masuk angin.

Kembali ke workshop, Paul meminta kelas untuk menulis suatu cerita dengan tiga opening yang berbeda. Opening menggunakan sesuatu yang terjadi, menggunakan dialog dan menggunakan direct statement. Saya sedang mencoba mengumpulkan coretan-coretan saya selama workshop dalam tulisan terpisah. Mudah-mudahan. Di akhir, Paul meminta peserta untuk memilih satu dari tiga opening itu dan menyelesaikannya menjadi sebuah cerita. Masing-masing peserta membacakan di penutup acara.

Selesai workshop saya mengunjungi acara peluncuran buku puisi di Gaya Fusion, Sayan. Ternyata jaraknya lumayan jauh. Saya sempet kebat-kebit juga kok tidak sampai-sampai. Gaya Fusion adalah sebuah gallery dengan tambahan restoran, villa dan spa. Bangunannya bergaya minimalis namun berhasil berdialog dengan lingkungan sekitar yang hijau. Lukisan yang dipamerkan kebanyakan bergaya modern-minimalis. Terus terang tidak semua saya mengerti. Saya akan menyempatkan ngopi sore di sini kalau ada kesempatan ke Ubud lagi. Villanya cantik dan bikin betah.

Buku yang diluncurkan adalah antologi puisi dari Anya Rompas dan Mikael Johani. Kebetulan pemimpin dari penerbit bukut ini, Waraney Rawung, pernah menjadi teman sekantor dan saya menyukai beberapa puisi Ney. Saya belum membaca buku Anya dan Mikael, hanya melihat penampilan mereka di acara itu. Secara umum, puisi-puisi mereka merefleksikan citarasa urban penulisnya. Tentang kota, sinar lampu. Puisi-puisi tersebut juga iconic, artinya menggunakan ikon-ikon sosial atau gaya hidup yang sudah ada. Jadi persepsi yang melekat pada ikon itu akan mempengaruhi pembaca atau sebaliknya, penulisnya ingin menggunakan atau bermain-main dengan pesepsi yang sudah melekat pada ikon tersebut dalam “delivery” puisinya. Ada Starbucks, atau Hermes. Saya masih mencari bagaimana mengapresiasi sebuah puisi yang judulnya sama (atau mengambil?) dari judul sebuah buku.

Perjalanan dari Gaya Fusion menuju Bebek Bengil juga jauh. Suasanya AKAP (antar-kota-antar-propinsi) hehehe… Rumah-rumah mulai jarang, jalanan lengang, sawah membentang, langit berbintang dan aku menerawang. Di Bebek Bali ada  perlombaan baca puisi. Menarik melihat begitu banyak ragam pembacaan puisi. Ada yang seperti rap. Ada yang mengalun melodius. Ada yang bergaya striptease (ngelesot di atas meja segala..). Kami ngobrol dengan ibu-ibu Australia yang semeja dengan kami. Salah satu di antaranya sedang menulis disertasi psikologi: Mengapa perempuan Australia begitu mencintai Bali.

BERSAMBUNG

Mendadak Sastra (3) November 4, 2008

Posted by Dadi Krismatono in Perjalanan.
add a comment

Catatan dari Ubud Writers and Readers Festival 2008

Hari ketiga, workshopnya pagi. Sarapan telur dadar yang rasanya agak aneh karena dicampur bawang putih dan sawi putih. O ya, kebetulan sudah dua hari ini workshop kami bertempat di Taman Indrakila, Jl. Sanggingan. Kayaknya, kalau tidak dipakai sebagi kelas, ruang terbuka yang menghadap ke lembah ini dijadikan coffee shop. Desir anginnya nikmat sekali.

Hari ini topiknya “Dramatic Ideas” dari Tee O’Neill. Dia adalah penulis lakon drama di New York University. Orangnya sangat menyenangkan.  Semuanya ringan dan mengalir. Seperti fasilitator sebelumnya, pada awal sesi Tee bertanya buku apa yang paling memberi inspirasi dan bahkan kita baca lagi untuk ke sekian kali. Kali ini saya memilih puisi, khususnya soneta, dari Pablo Neruda. (Bukan, bukan Rhoma Irama). Pablo Neruda adalah pujangga Chile yang pernah tinggal di Batavia tahun 1930-an. Puisinya penuh berisi peryaan hidup. Hal-hal yang tampak sepele dan remeh-temeh dirayakan dengan penuh keagungan. Siapa sih yang mau bikin puji-pujian dalam bentuk ode kepada ikan asin, tomat atau wine? Selain pujangga, Neruda adalah politisi sosialis dan kolaborator Presiden Salvador Allende. Ketika Augusto Pinochet melakukan kudeta, Neruda terpaksa bersembunyi dan melarikan diri hingga ke Argentina. Neruda meninggal di Chile tahun 1973 dan walaupun rejim Pinochet melarang pemakaman Neruda menjadi keramaian publik, ribuan warga Chile turun ke jalan untuk menyatakan belasungkawa dan menyatakan protes untuk pertama kalinya terhadap  rejim otoriter. Neruda dianugerahi Hadiah Nobel bidang sastra tahun 1971.

Setelah itu Tee bertanya tentang nama kita dan kira-kira apa arti atau inspirasi di baliknya. Mmm… Nenek saya pernah bercerita bahwa kakek sayalah yang memberi nama. Beliau seorang penulis dan produser siaran radio untuk RRI sejak masa pendirian, kemerdekaan hingga akhir hayatnya. Katanya nama saya berasal dari tiga kata: dadi, keris dan maton. Dadi = jadi, keris = senjata tradisional di Jawa dan beberapa daerah nusantara, dan maton adalah adalah ekspresi kualitas sebuah keris. Maton kira-kira artinya wajar, proporsional; tidak terlalu grandioso tapi juga bukan remeh.

Setelah itu kami mulai masuk ke materi dramatic ideas. Tee memadukan berbagai teknik teater dan meditasi untuk memicu ide dan mengalirnya tulisan. Ada gerakan tangan yang dipercaya mengaktifkan otak kanan maupun otak kiri, gerakan yang diambil dari yoga untuk mengalirkan darah ke otak hingga teknik meditasi dan menggunakan kenangan kita untuk memunculkan ide dramatis untuk menulis.

Tee meminta peserta memilih satu peristiwa terindah dan satu peristiwa terburuk yang mempengaruhi hidup kita. Lalu kami menuliskannya. Yang menarik, Tee kemudian meminta kami untuk menulis seperti apa hidup kita sendainya peristiwa-peristiwa itu tidak terjadi. Nampaknya sederhana tapi saya merasakan penjelajahan batin yang luar biasa. Bagiamana ya seandainya peristiwa itu tidak terjadi? Would I be a better person? 

Tee menggunakan ketakutan (fear) sebagi sumber ide. Kelas sepakat untuk membagi dua kategori: public fear dan personal fear. Public fear mulai dari kemiskinan, terorisme, wabah penyakit dll, semntara personal fear yang paling sering disebut adalah menjalani hidup yang tak bermakna (living a meaningless life). Ya, tentu. Lalu kami diminta untuk membuat tulisan dari ide-ide tersebut, lebih baik lagi jika tulisan itu merupakan pertautan dari dua ketakutan tadi. Saya membuat coretan tentang seorang pialang Wall Street yang tengah terpekur sambil menonton YouTube berisi orasi penuh kemarahan seorang anggota Al Qaeda.

Cara lain yang digunakan Tee adalah dengan menggunakan foto. Kami diminta berkeliling dan memilih salah satu foto dan membuat cerita tokoh yang ada di foto itu. Saya memilih foto seorang lelaki tua dengan jas dan dasi yang kelihatan mahal. Wajahnya tampak letih. Saya membuat sketsa tentang seorang boss mafia yang marah karena anak perempuannya dibunuh seminggu sebelum pesta pernikahan sang anak.  Dalam bagian ini Tee mengenalkan teknik “dislocator” dimana ada kata-kata atau statement yang digunakan ketika kita mentok atau jika dengan sengaja kata itu digunakan, dia menjadi titik belok cerita ke arah yang tak terduga.  Tee berhasil membuat workshop yang dalam dan berat ini mengalir lancar, terutama karena ia tidak pernah memaksakan gagasannya.

Selesai workshop beringsut ke Pasar Ubud, makan siang dan kembali ke hotel untuk bersiap-siap karena nanti sore diajak Pak Bondan Winarno jalan-jalan sore dan makan malam.

Walau bagian depannya sarat penjual kerjainan, lukisan atau cinderamata lainnya saya mengira masih ada bagian dari Pasar Ubud yang merupakan “pasar becek” tempat warga sekitar berbelanja kebutuhan dapur. Jam 10 ke atas Pasar Ubud menjadi pasar barang kerjainan, persis seperti Pasar Sukowati. Mungkin pasar yang saya ada di bagian lain dari Ubud tapi karena panas yang mendera saya hentikan keinginan untuk mblusuk-mblusuk pasar siang itu.

Makan siang di Biah-biah yang cantik di Jl. Goutama. Ciri khas warung ini adalah keberaniannya mencampur bahan-bahan dalam hidangan dan penyajian dalam ukuran kecil dan cantik. Saya mencoba lawar yang dicampur dengan kocokan telur, pepes tuna yang cakep, plecing kangkung dan ayam yang dimasak pedas. Masing-masing hidangan diletakkan dalam wadah yang dibuat dari daun pisang. Empat macam dengan ukuran yang pas untuk dua orang.

Jam empat sore kami berkumpul di depan Warung Ibu Oka. Sudah ada Pak Bondan dan Bu Yvonne, Yohan Handoyo dan Lidia Tanod. Tujuan: sunsest di Pantai Padang-Padang dan dinner  di Jimbaran. Lengkap. Ide dan susunan cara dari Pak Bondan. Kami tinggal ikut (Terima kasih ya, Pak).

Pantai Padang-Padang terletak di daerah Pecatu. Dari GWK itu teruuss aja (maaf tidak menolong ya keterangannya). Bahkan pak supir yang membawa kita sempat kelewatan sedikit. Pantai ini lebih tepat disebut ceruk yang sangat indah. Amazing! Untuk masuk ke kawasan pantainya, kita harus melewati tangga yang terletak di bawah dua bungkah batu karang  yang besar. Seperti melewati lorong gua yang sempit dan ..byar!.. berujung pada pemandangan spektakuler di ujung sana. Pantai yang landai, pasir yang bersih, air yang jernih dan karang yang memperkuat dramatisasi pemandangan. Di salah satu bukit karang yang menemboki  pantai ini ada villa mewah yang rada-rada out of place dari suasana alam sekitarnya. Kebetulan ada seorang pemusik yang memainkan alat seperti wajan melengkapi suasana. Katanya tempat ini sering dibuat rave party, tapi saya lebih suka suasana sore yang tenang dan laid-back seperti ini.

Lidia sempat membeli kue tradisional “lak-lak” dari penjual di tempat parkir. Bentuknya seperi kue kelepon yg dicabik-cabik tapi gula cair merahnya dituang seperti dressing, ditambah  taburan parutan kelapa. Ada aroma gosong yang mirip kue carabikang di Pekalongan.

Makan malam di “Manega”, Jimbaran. Bertemu dengan Grace, Benny dan teman-teman lainnya. Pak BW memilihkan udang galah yang ternyata adalah udang sungai. Wah.. rasanya manis dan teksturnya lebih ciamik dari rock lobster yang banyak ditawarkan. Pas dengan bumbu dan gosongan gaya Jimbaran.

Puas makan kami pun pulang ke Ubud. Sepanjang jalan mendengarkan cerita-cerita Pak Bondan yang jenaka dan memperkaya batin.

BERSAMBUNG

Mendadak Sastra (2) Oktober 28, 2008

Posted by Dadi Krismatono in Perjalanan.
add a comment

Catatan dari Ubud Writers and Readers Festival 2008

Hari kedua diawali dengan makan siang di Nasi Ayam Ibu Mangku di Jl. Kadewatan. Nasi campur ayam betutu yang aduhai. Bisa dibayangkan, nasi hangat bergulat dengan sayuran berbumbu dan  ayam betutu yang moist dan berempah lalu ditingkahi kriuk-kriuk gorengan kulit dan usus ayam. Festive! Belakangan saya mendapat info bahwa di Jl. Kadewatan ada dua lagi warung nasi ayam. Kalau mau studi banding, bukan ke luar negeri seperti anggota DPR, patut dicoba tuh.

Saya mengikuti workshop mengenai editing, khususnya untuk tulisan fiksi. Judul workshopnya menarik: “Kindest Cut of All” yang kira-kira terjemahannya: kalau mau memotong tulisan, potonglah dengan cinta (halah!). Fasilitatornya Shelley Kenigsberg dari Australia. Pada sesi ini ada pengalaman menarik. Shelley meminta para peserta menyebutkan satu buku yang sangat digemari, memorable  atau bahkan menginspirasi . Saya berpikir sebentar. Rasanya yang paling cocok adalah “Para Priyayi” dari Umar Kayam. Saya membacanya sekitar sepuluh kali pada saat nganggur menunggu pengumuman penerimaan universitas selepas lulus SMA.  Hampir selalu dengan gairah dan kekaguman yang sama. Lalu saya mendengar bahwa buku yang dibicarakan adalah novel-novel yang terbit dalam lingkup internasional. Atau gampangnya, berbahasa Inggris. Setiap ada yang menyebut satu judul, peserta yang menimpali, “Yea, I know that book.” Atau, “It’s excellent!” atau komentar yang sejenisnya. Lalu saya berpikir, kalau begitu yang cocok adalah “Unbearable Lightness of Being”-nya Milan Kundera.  Tapi kok jadul ya? Jangan-jangan peserta lain bilang “Lha iya lah, masa’ lha iya dong? Kundera geto lohhh…” Sampai hampir tiba giliran saya, saya belum tahu buku apa yang akan saya sebutkan.

Tiba-tiba saja ketika giliran saya sampai, saya ingat dan menyebut buku “History of Love” karya Nicole Krauss. Begitu saja tercetus dan terucap. Kemudian saya menjelaskan bahwa buku ini menarik dari sisi ide dan bentuk. Buku ini bercerita tentang sebuah buku yang bercerita tentang sebuah buku berjudul History of Love. Selain banyaknya kejutan dan alur yang memikat, saya suka sekali cara Krauss bermain-main dengan ruang, dia bahkan menggunakan halaman kosong atau halaman hanya dengan satu kata atau satu kalimat, untuk membangun rhythm dan pace cerita. Stunning!

 Dalam workshop ini kami belajar hal-hal dasar dalam membangun cerita dan kemudian bagaimana men-deliver-nya secara efisien dan memikat. Plot dan karakter sangat ditekankan. Bahkan dibahas bahwa Anda tidak perlu menyukai karakter yang Anda bangun. Bahkan bukan tidak mungkin seorang penulis begitu sukses melukiskan sisi gelap sesosok tokoh hinga ia membencinya! Selain itu hal-hal seperti power dynamics, ide-ide yang bertabrakan (juxtaposed ideas), believable transition in plot serta bentuk yang bervariasi. Mengenai bentuk, saya baru tahu bahwa ada saran untuk memperhatikan panjang-pendek paragraph serta tek-toknya dialog. Terakhir, kami belajar membuat closing, supaya cerita kami tidak melulu ditutup dengan closing: and they live happily ever after.

Selesai sesi saya bergegas ke acara pembukaan di Puri Ubud. Memang jadwalnya agak bertabrakan. Kami terlambat sekitar 30 menit by design. Ternyata upacara pembukannya hambar. It’s a total loss! Pidato-pidato yang dangkal dan formalistik, serta tarian simbolik yang mengingatkan kita pada tari-tari dalam upacara Orde Baru. Padahal, tempatnya sangat menarik: istana raja, pelataran,  pepohonan. Melihat harga ticket yang dikenakan, it’s not value for money at all! Ada sedikit pengobat kekecewaan, ketika kami diijinkan untuk masuk dan melihat-lihat bagian luar dari kompleks istana raja Ubud. Sebagian besar adalah teras tempat menerima tamu. Seperti yang saya lihat di berbagai istana atau keraton, cinderamata dari negara atau kerajaan lain menambah kekuatan suasananya. Ada guci dari Cina yang tinggi diletakan di tengah semacam pendopo yang ditata anggun.  Ada teras yang paling besar. Mungkin itu singgasananya, apalagi dilihat dari warna keemasan yang medominasi. Terasa betul suasana majestic dari ruang itu.

Selesai melihat-lihat Puri Ubud yang sedikit mengobati kekecewaan, saya berangkat menuju Pura Dalem. Ada bagian pendopo yang digunakan untuk acara non-peribadatan yang digunakan. Acara pertama di tempat ini adalah “A Tribute to Sutan Takdiir Alisjahbana”.  Memang orang besar seperti Takdir patut mendapat penghormatan dari bangsa ini. Dengan caranya Takdir mencerdaskan bangsa ini terutama dengan kegigihannya membangun filsafat rasionalisme dan modernisme. Dulu belum ada istilah guru bangsa, tapi saya yakin Takdir patut disebut dengan sebutan itu.

Selain pidato dari keluarga dan kolega, capaian terpenting dari program ini adalah penerjemahan ke bahasa Inggris dan pembuatan komik  roman “Kalah dan Menang” Sungguh satu inovasi yang patut dipuji karena memungkinkan buku bagus ini menjangkau khalayak yang lebih luas. Selain itu ada cerita menarik tentang pendirian Toyabungka Art Center di tepi Danau Batur. Syahdan pada suatu hari Takdir menumpang pesawat ke Eropa dan mengalami kecelakaan. Pesawat itu terbakar hebat dan untungnya Takdir selamat. Maskapai penerbangan itu memberi ganti rugi dan asuransi yang begitu besar hingga Takdir berpikir: untuk apa uang sebanyak ini? Uang itulah yang dijadikan modal awal untuk membangun Toyabungka Art Center. Namun dalam acara ini ada satu warisan Takdir yang tidak dibahas: Universitas Nasional di Jakarta. Mungkin karena acara ini lebih menyoroti warisan literer STA.

Acara berikutnya adalah pertunjukan yang diberi judul “A Midsummer Night’s Dream”. Ya, plesetannya Shakespeare. Gak apa-apa deh. Ada pembacaan puisi, ada musikalisasi puisi dari sebuah sanggar teater SMA di Denpasar yang katanya mempraktikkan teknik vocal tradisional Bali. Puncaknya adalah pementasan teater dari sebuah sanggar yang berasal dari Bali utara. Pemainnya bukan aktor professional, ada pegawai negeri, buruh, mahasiswa bahkan petani. Mereka mementaskan kegamangan orang Bali menghadapi gencarnya pembangunan fisik dan turisme, menggunakan air dan subak sebagai inti masalah. Pementasan dilangsungkan dalam bahasa Bali namun seperti disampaikan oleh MC, great show needs no translation. 

Malam masih panas. Kira-kira jam setengah sebelas malam dan kami celingukan. Perut mulai memanggil namun jalan raya sepi. Kafe dan resto sudah tutup. Ada beberapa yang buka namun hanya melayani minum. Duh! Saya lupa untuk mengarah ke Jl. Goutama atau Monkey Forest. Biasanya di situ agak ramai, khususnya karena ada festival ini. Akhirnya terdampar di Ryoshi, restoran Jepang yang punya beberapa outlet di Bali. Makan ramen dan tempura yang rasanya seperti ramen dan tempura pada umumnya.  

BERSAMBUNG

Mendadak Sastra (1) Oktober 23, 2008

Posted by Dadi Krismatono in Perjalanan.
2 comments
Catatan dari Ubud Writers and Readers Festival 2008

Sejak tahun lalu saya ingin sekali ikut Ubud Writers and Readers Festival (UWRF). Sayang sekali tahun lalu acara ini diadakan bersamaan dengan bulan puasa. Syukurlah tahun ini kelakon ikut.

Pendaftaran via internet biasalah. Sayang informasinya dicicil-cicil sehingga saya tidak bisa menyusun satu itinerary yang utuh selama di Ubud. Bahkan banyak program yang masuk kategori main event baru saya ketahui ketika mendapat buku program di sekretariat Panitia. Saya terlanjur membeli ticket penerbangan pulang pada Minggu malam dan baru tahu kemudian bahwa penutupan Festival akan dilakukan Minggu malam di Museum Antonio Blanco.

Sprit acara ini bagus sekali but, again, the devil is in the detail.

Menginap di Inna Inn, Jl. Bisma. Tepatnya, cabang dari cabang alias anak dari anak Jl. Bisma he he he.. Saya kagum dengan tingginya kepercayaan mereka . Hanya telepon, tidak pakai DP atau deposit, sebuah kamar di lantai 2 dengan pemandangan sawah yang membuai mata tersedia. Begitu juga ketika menyewa sepeda motor. Pak Putu langsung ngacir sebentar dan datang dengan sebuah Honda Vario dan dua helm. Semua dihitung dan dibayar pada hari terakhir. No down payment, no deposit, no credit card; just trust—and cash!

Sebelumnya saya pernah ke Ubud dan menginap di Hotel Champlung Sari, Monkey Forest. Pada waktu itu saya berulang kali menggumam, seandainya tidak ada dengung AC, it’s gonna be a total silence. Di Inna Inn, karena hanya menggunakan kipas angin, saya merasakan keheningan itu. Stunning! Betul-betul indah. Sebagai gantinya saya kegerahan karena entah kenapa Ubud selama sepekan itu panas betul. Kata Pak Wayan yang mengantar sarapan, hawa panas ini akibat “global warning” (ya, dengan huruf “N”).

Walaupun sederhana, hotel ini mengusahakan semuanya “mis en place”. Sarapan di teras kamar lantai dua. Hmm… Roti panggang, selai nanas, orak-arik telur, kopi susu dan jus buah. Di sini juga saya berkenalan “jaffles”: setangkup roti berisi telur ceplok kemudian dipanggang. Proses pemanggangannya menyebabkan ujung-ujung roti menyatu. Seperti roti isi telur ceplok.

Hari pertama, setelah sampai saya mengambil ticket dan pass pengunjung di sekretariat panitia di Indus, Jl. Sanggingan. Tempatnya cantik. Teras restaurant yang menghadap ke lembah Sungai Campuhan pun membuat takluk, duduk dan.. makan siang. Nasi campur vegetarian. Beras merah, urap sayur, tempe dan tahu, semacam sayur asem dengan kacang merah, dan lain-lain. Saya baru mengamati, tahu di Bali enak sekali. Solid (bahkan bisa di-grill), tidak terasa asam dan tidak terlalu basah (soal “basah” ini mungkin berhubungan dengan cara memasak). Minumannya jus air kelapa hijau dengan wortel yang menurut buku menu berkhasiat menghilangkan kembung dan rasa tidak enak di perut. Rasanya? Seperti air kelapa dicampur wortel.. he he..

Selesai makan saya singgah di Museum Antonio Blanco. Pengelolaan museum ini baik sekali. Harga ticket tidak terlalu mahal. Informasi yang cukup jelas dan beberapa memorabilia dan ruang tinggal yang ditata apik memberikan suasana yang hidup.

Malamnya makan di Terazo, Jl. Suweta. Restoran charming ini emang sudah lama terkenal dengan pasta dan hidangan Eropa lainnya. Saya mencicipi parpadelle dengan tiga jamur dan butter sauce yang ciamik. Pastanya segar. Ada sidik jari keahlian si pembuat pasta di situ. Matangnya pas dan mengelindan sempurna dengan cita rasa jamur dan saus. Lalu ada sparkle dari lada hitam dan twinkle dari bintang di langit hitam.

Cukuplah untuk menutup hari ini….

BERSAMBUNG

I left my heart in Pekalongan Juli 25, 2007

Posted by Dadi Krismatono in Kuliner, Perjalanan.
Tags:
1 comment so far

Ini adalah catatan perjalanan saya ke Pekalongan pada akhir Juni yang lalu. Acara HUT Jalansutra di TMII belum lagi rampung tapi saya sudah harus bergegas ke titik bertemu dengan teman-teman yang akan berangkat ke Pekalongan. Sambil bersalam-salaman dan pamit saya lihat Tatyo berjalan ke mobilnya. “Mau pulang, Mas?” tanya saya. “Oh nggak, ini mau ngambil wine di mobil..” Waks, I missed the best part!

Setelah berkumpul kami pun memulai perjalanan bermobil. Jalan tol Cikampek pamer dada alias padat merayap tersendat-sendat. Di beberapa titik ada rest area yang kian kinclong saja. Jalan Pantura sebagian aspalnya keriting. Di beberapa ruas sedang di perbaiki, mengantisipasi mudik yang akan datang. Lepas tengah malam badan mulai dingin, waktunya minum kopi. Sambil mengurangi kecepatan kami pun celingukan mencari warung atau rumah makan di daerah yang bernama Patrol. Sebagian besar sudah tutup. Ada beberapa warung yang buka, biasanya persinggahan truk, tapi kok remang-remang ya? Bikin malas menghampiri. Akhirnya, kami pun sampai di satu warung yang cukup ramai—walau remang-remang. Sambil ngopi saya mengamati sekeliling ternyata semua warung di daerah situ menggunakan lampu remang-remang untuk menghindari laron dan serangga sejenis kumbang kecil yang banyak di daerah itu. Warung remang-remang di jalur Pantura ternyata memang… remang-remang betulan.

Matahari pagi menyambut kami di Pekalongan. Sekitar jam 07.30 kami sudah sampai di pusat kota. Hmm.. waktunya sarapan. Maksud hati mencari tauto, apa daya sampainya di Masduki. Tauto adalah soto khas Pekalongan yang menggunakan daging kerbau dan tauco. Kuahnya berminyak dan pedas. Tarikan tauco Pekalongan agak berbeda dengan tauco Cianjur; lebih “wide” dan “elegant” ketimbang temannya dari Cianjur yang “sharp” dan “crisp” (lho, ini tauco apa wine??).

Masduki yang saya sebut di atas adalah warung makan khas Pekalongan yang ada di dekat Alun-Alun. Tentu ada megono, cacahan nangka muda dengan parutan kelapa dan bunga kecombrang yang khas. Megono dijadikan taburan atau kondimen. Menu lengkapnya adalah nasi dengan sayur dan lauk pauk. Ada hidangan sayur di Pekalongan yang selalu bikin rindu: potongan tomat hijau, kuah encer berbumbu dengan irisan petai. Pilihan lauk pauk yang tersedia di warung-warung Kota Batik ini adalah sriping (kemungkinan sejenis scallop) yang dioseng-oseng dengan cabai merah (paduan gurih-pedasnya melenakan hati), cumi (biasa disebut sotong) yang dimasak dengan tintanya, juga otot (entah bagian otot sebelah mana dari sapi) yang dimasak pedas. Jadi bisa dibayangkan: sepiring nasi dengan ditaburi megono, kemudian megono itu tenggelam karena disiram kuah sayur tomat hijau dan ada lauk sriping atau otot, atau cumi dengan tinta hitamnya…

Satu hidangan khas warung Masduki adalah garang asem gagrak Pekalongan. Pak Bondan Winarno sudah mencatat paling tidak ada lima varian garang asem yang ada di Jawa. Nah, garang asem Masduki adalah daging sapi dengan kuah kluwak encer yang rich tapi tetap segar. Sebagai pelengkap bisa dipilih telur rebus yang sudah dimasak dengan kuah manis seperti semur.

Badan pun segar oleh kuah garang asem yang hangat. Di alun-alun ada anak-anak SD menampilkan drumband yang unik. Karena belum kuat meniup trumpet atau trombone, selain menggunakan pianika dan xylophone (kalo gak salah ya namanya, itu loh besi yang dentingannya enak), digunakan keyboard yang sudah dirancang bisa dicantel ke pundak dan dihubungkan ke megaphone. Inovasi yang bagus. Lagunya pun nggak tanggung-tanggung buat ukuran anak SD: lagu Melly! “Sampai kapan kau gantung cerita cintaku, memberi harapan.. uwoo uwooo…” Duile… Anak SD geto loh.

Tujuan kami ke Pekalongan adalah menghadiri syukuran pernikahan teman kami Imam Wibowo dengan Afi. Imam adalah penulis di MetroTV. Acaranya di rumah. Hangat dan bersahaja. Sudah lama saya merindukan suasana perhelatan seperti ini. Tapi diam-diam saya juga punya target lain. Saya ingat nasi kebuli Keluarga Darul (orang tua Imam) ini dahsyat punya. Betul juga. Di salah satu pojok ada meja dengan nasi kebuli lengkap dengan uba-rampenya.

Nasi kebuli Ibu Darul selalu hadir dengan dua “lauk” daging. Yang pertama daging sapi yang lean dan tender, yang dimasak dengan bumbu cabe merah berminyak mirip dendeng balado dan yang satu adalah daging yang berlemak yang dimasak bumbu seperti kare tapi dengan kekentalan kuah mendekati kalio. Tapi yang bikin merem-melek adalah acar dari nanas, bawang merah dan cabai merah yang segar lagi merona. Apalagi nasinya tanak sempurna. Ahlan-wa-sahlan.

Selesai bernostalgia dengan nasi kebuli saya pun ngobrol-ngobrol dan menikmati suasana. Eh, ternyata ada tauto. Langsung aja deh diserbu. Keinginan yang tadi pagi sempat teralihkan kini terpuaskan.

Selesai perhelatan kami pun keliling-keliling kota dan terdampar di Warung Barokah di daerah Wiradesa. Jika dari Jakarta, Wiradesa ini ada selepas Pemalang begitu kita memasuki daerah Pekalongan. Sepanjang jalan kita bisa belanja batik grosir. Ada gapura aneh lagi gigantik di perempatan yang mempertemukan empat lengkungan besi di titik tengahnya. Entah apa maksudnya. Nah, warung Barokah ada tak jauh dari gapura aneh itu.

Seperti layaknya warung di Pekalongan, megono, sayur tomat hijau, sotong dan lain-lain juga tersedia di sini. Ada panci berisi sepertinya sayur asem yang menarik perhatian saya karena tidak ada kuahnya. Saya tanya, “Ini kuahnya sudah habis?” Dijawab, “Bukan, Pak. Kuahnya sengaja dipisah biar sayurnya tidak hancur tapi tetap hangat” kata seorang kitchen staff seraya menunjuk panci berisi kuah sayur asem yang nangkring di atas kompor berapi kecil. Wah, tekniknya boleh juga nih..

Tapi bukan itu yang kami buru. Di Barokah ini kambing-kambingannya lumayan mantab (pakai huruf b). Kematangan dan ke-“kering”-an satenya pas dan tidak gosong. Ada kikil dan gulai kambing yang gurih. Sayang sekali karena kami datang ketika matahari mulai doyong ke barat, hidangan karnivoris itu sudah banyak yang habis. Kami cuma kebagian sate dan gulai kambing. Seperti saya bilang, sate kambing yang dihidang dalam hotplate tampil dengan kecantikan yang sempurna. Tidak ada karbon gosong atau bagian yang melawan. Bumbu gule kambingnya tidak kompleks malah menampilkan kegurihan yang lugas, tapi disitulah nikmatnya. Sayang sekali karena hari panas dan gerah, saya tidak bisa memadukan sate dan gule ini dengan “pairing-nya” yaitu teh poci warung ini. Hmmhh.. kalau saja suhu udara agak bersahabat, menyantap sate yang keringnya pas, dengan nasi putih bersaput kuah gule dan tarikan teh poci gula batu… I will be flying…even though I don’t see a bright white light at the end of the tunnel.. (he he he.. serem amat).

Check out dari Barokah dalam keadaan gembrobyos. Teman saya Djudjur T. Susila yang bersama rekan-rekannya beberapa waktu lalu sukses menggelar Festival Batik Pekalongan menceritakan ada kue-kue khas warga Pekalongan keturunan Tionghoa. Terdengar namanya “Nyajo”. Langsung saja mobil diarahkan ke Jl. Rajawali, daerah Bendan. Ternyata yang disebut “Nyajo” adalah “Nyonya Djoe”, nama ibu pembuat kue. Tapi Nyonya Djoe sudah pindah ke Jl. Sumatera, tidak jauh dari situ. Tak lama kami pun sampai di rumahnya. Di ruang tamu yang sederhana itu tersedia beberapa nampah berisi kue-kue berbahan dasar tepung beras dan santan yang gurih yang dimasak di loyang dan dipotong-potong ketika disajikan. Dari sisi genre mungkin agak dekat dengan kue talam, kue pepe atau ongol-ongol di Jakarta. Menurut mbak yang melayani kami, Ny. Djoe sudah 40 tahun berjualan kue “basah” ini. Ada kue lumpang yang berbalut kacang tanah yang digerus kasar. Dicetak dalam mangkok-mangkok kecil. Uniknya, kue lumpang ini tidak terlalu manis. Mungkin bagian dalamnya sengaja dibikin agak “plain” untuk mengimbangi rasa khas kacang. Ada lapis jeruk wangi yang sangat istimewa. Kue tepung beras putih gurih dengan selapis toping warna oranye kecoklatan yang menghantarkan wangi jeruk purut. Balance, dengan sensasi kelembutan yang istimewa. Ada kue latoh, dengan balutan warna dan aroma dari daun suji yang disantap dengan parutan kelapa kukus. Ada satu favorit saya, namun cuma kebagian icip-icip sedikit karena yang tersedia adalah pesanan orang, yaitu getuk singkong, yang mirip dengan getuk singkongnya di daerah Jawa Tengah lainnya namun dengan tekstur yang lebih lembut tapi juga sedikit crusty dengan sedikit isian coklat di tengahnya. I shall return for this getuk singkong!

Sore kami lalui dengan obrolan santai lengkap dengan kopi rempah yang dibeli di toko khas Arab di dekat lapangan Sorogenen. Pekalongan adalah salah satu melting pot kebudayaan yang mengagumkan. Orang keturunan Arab, Tionghoa, OPEK (alias orang Pekalongan) dan etnis-etnis lainnya hidup damai berdampingan dalam vibrancy khas kota pesisir. Almarhum Nurcholish Madjid alias Cak Nur pernah beranalogi, jika secara sederhana mindset kebudayaan nusantara dibagi dua antara pesisir (Sumatra) yang kosmopolit dengan pedalaman (Jawa) yang hirarkis dengan kekuasaan yang efektif beroperasi, maka “sintesis Indonesia” adalah Pekalongan karena Pekalongan adalah “Jawa yang pesisir, Jawa dengan kultur perniagaan dan tata pergaulan yang egaliter”.

Masuk waktu makan malam kami pun berembuk. Ada yang usul kepiting kombor, ikan bakar di Wiroto, sego megono Pak Bon, atau yang lainnya. Saya sebenarnya kepingin sekali makan es sekoteng Wan di daerah Klego. Namanya sekoteng tapi penampakannya sangat berbeda dengan sekoteng konvensional. Selain itu sekoteng di sini bisa disajikan panas atau dingin dengan es. Santan, susu kental manis dan sirup merah mengiringi misoa dan potongan roti tawar. Ya, misoa. Malah tekstur dan rasa plain misoa ini yang menjadi sensasi tersendiri. Tapi akhirnya kami sepakat mencoba tempat baru di Pantai Sigandu yang sudah masuk daerah kabupaten Batang.

Tempat ini merupakan pengembangan dari pelabuhan dan tempat pelelangan ikan di Pantai Sigandu. Agak keluar dari hiruk-pikuk pelabuhan dan pelelangan ikan ada dua tempat makan ikan bakar al-fresco dengan penampilan yang cukup baik. Kami mengambil tempat di salah satu warung itu, yang paling dekat dengan pantai. DI tempat ini saya baru sadar teringat lagi perbedaan nomenklatur penamaan ikan yang sempa menggelitik penasaran saya beberapa tahun yang lalu. Ternyata ikan “pihi” di sini adalah ikan “sebelah” di Jakarta dan ikan “jeruk” adalah ikan “ayam-ayam”.

Bersama pilihan ikan lain dan cumi goreng tepung, datanglah kedua ikan ini. Kesegarannya memang patut dipuji tapi bumbu bakarannya biasa saja, bahkan cenderung tenggelam oleh kecap. Tapi sambel terasinya mana tahan! Sangat kuat aromanya, gurih dan tidak terlalu pedas. Tarikan terasinya mengingatkan saya pada terasi dari Juwana. Aahhh…

Selesai makan kamipun bersiap-siap pulang. Lumayan nih, dua malam berturut-turut tidur di mobil. Sampai di Depok keesokan paginya, walau badan masih pegal, langsung saya menyeduh kopi dan menggelar kue-kue dari Nyonya Djoe untuk dinikmati bareng-bareng keluarga. Tapi rasanya masih ada yang tertinggal di sana.

Duh, Tony Bennett, terpaksa kupinjam lagumu:

“I left my heart, in Pekalongan…”